Dira datang dengan tergesa-gesa menghampiriku yang sedang duduk sendirian di kantin, sedang menghabiskan sarapan pagiku.
“Eh lo, tumben amat lo jam segini udah ke kampus?” Ujarku begitu dia menyambangi mejaku
“sial. Gue bawa kabar baik nih buat lo,” sahutnya sambil menyambar
gelas berisi susu cokelat hangat punyaku. Yah, dia memang suka mencomot
makanan atau minumanku tanpa izin.
“Apaan sih?” Tanyaku malas-malasan dan menggeser piring makanku ke sudut meja.
“Ih lo tuh ya, penasaran dikit kek. Nih semalem ada tiga cowok yang
nanyain nomer lo gara-gara baca artikel kampus yang majang foto lo. Satu
anak sastra, satunya anak sospol dan satu lagi anak antro. Bersyukur lo
punya temen anak jurnalis kaya gue, ikutan tenar kan paling enggak,”
Cerocosnya dengan penuh semangat.
Entah sejak kapan Dira punya kebiasaan membawa kabar baik tentang
cowok-cowok yang tiba-tiba menanyakan nomerku melaluinya. Lama-lama aku
jadi curiga, mungkin dia yang mempromosikanku, bukannya para cowok itu
bisa langsung bertanya kepadaku?.
“Ah males gue Dir, enggak minat punya pacar.”
“Ih lo itu, dari dulu punya alasan enggak ada kreatif-kreatifnya. Ini
antrian laki udah panjang Cit, lo nungguin apa lagi? Tinggal pilih aja
lo mau yang mana kan,”
Gara-gara artikel di majalah kampus yang pemimpin redaksinya adalah
Dira, tiba-tiba aku jadi mendadak terkenal. Di edisi kemarin, Dira
mengulas tentang para mahasiswa kampus yang ikut pertukaran pelajar ke
Vietnam selama empat minggu, di situ terpampang jelas profilku, belum
lagi edisi beberapa bulan yang lalu yang juga membahas profilku sebagai
salah satu enterpreneur muda dan di tambah edisi perdana majalah kampus
tahun lalu, wajahku terpampang sebagai covernya, alasannya karena aku
high quality jomblo. Dasar iseng Dira itu, Entah bagaimana prosesnya
tahu-tahu sudah ada CFC (dan bukan singkatan dari California Fried
Chicken) yang merupakan kepanjangan dari Citra Fans Club.
Sudah tidak terhitung banyaknya kiriman bunga atau cokelat atau
boneka dari orang-orang yang aku tidak kenal yang terkadang sering kali
aku hibahkan begitu saja ke Dira. Cewek lain mungkin sirik berat dan
ingin berada di posisiku, tapi aku justru ingin ada yang dengan rela
menggantikan aku. Aku tidak tertarik dengan hal-hal semacam ini.
“Gue males aja ah Dir, enggak minat sama yang beginian. Masih betah ngejomblo,” Ujarku memberi alasan
“Eh lo itu udah bertahun-tahun ngejomblo. Nungguin apaan sih? Masih
belum bisa move on dari si Reno yang brengseknya luar biasa itu?”
Aku spontan menutup kupingku. Nama itu layaknya barang haram yang tidak boleh di sebut didepanku.
“Please, bisa gak kita enggak usah nyebut-nyebut nama itu?”
“Iya iya iya nona manis, tapi lo masih keinget dia kan mantan lo yang
pacarannya dari jaman SMA? Belum bangkit dari dia kan? Dia aja udah
enggak keitung pacaran sama berapa cewek sejak abis dari lo. Lo putus
juga gara-gara dia selingkuh sama tiga cewek sekaligus kan? Cewek
sekampus pula, enggak professional banget cara selingkuhnya. Yang naksir
sama lo kan juga banyak Cit, masa dari segitu banyaknya enggak ada yang
bikin lo kesengsem. Kalau lo sendiri gak mau usaha buat bangkit ya
selamanya lo bakalan kaya gini terus, enggak guna juga meratapi orang
yang udah enggak mikirin kita lagi kan.”
Kata-kata Dira masih terngiang jelas di telingaku. Memang aku sudah
cukup lama menjadi jomblo, tapi apa iya semenyedihkan itu menjadi
jomblo? Itu memang sudah keputusanku, walau tuduhan Dira yang bilang
bahwa aku belum bisa move on dari Reno sejak nyaris dua setengah tahun
yang lalu tidak sepenuhnya salah. Bayangkan, kami jadi pasangan ideal
waktu itu, berpacaran dari SMA selama nyaris empat tahun. Sampai aku
menemukan fakta bahwa dia berselingkuh tidak hanya dengan satu orang
tapi beberapa orang sekaligus, dan bodohnya mangsanya adalah mahasiswa
dari jurusan lain di kampusku. Berlagak jadi playboy tapi salah mencari
mangsa, maklum belum professional sepertinya. Tapi di luar kelakuannya
yang menyakitkan hati, sisi baiknya selama kami pacaranlah yang
membuatku sulit lupa meski tahu dia brengsek luar biasa. Tapi kali ini
kuputuskan untuk maju, dan menghapus bersih semua ingatan soal –dia yang
tidak boleh disebut namanya- itu.
Dan disinilah aku, di sebuah kafe kecil langgananku. Duduk bersama
Satrio, anak satu kampus dari jurusan SosPol, yang dulu dikenalkan Dira.
Sejak ceramah panjang lebarnya akhirnya kuputuskan untuk menerima
sarannya, mengikuti kencan buta. Dan ini kencan buta yang kesekian
kalinya aku jalani. Kencan buta yang selalu di atur oleh Dira. Aku jadi
tak sampai hati untuk bilang tidak tiap kali dia bertingkah seperti ini,
sahabatku satu itu memang benar-benar serius ingin mencarikan aku pacar
baru supaya aku bisa segera MOVE ON dari si brengsek itu.
Dan beberapa kejadian konyolpun terjadi saat kencan buta, diantaranya
kencan bersama Fahmi, anak kedokteran yang bawaannya mobil sport Mazda
RX-8 serta beberapa mobil mewah lainnya. Heran juga karena setiap kami
keluar mobil yang dipakainya selalu saja berbeda. Sampai pada akhirnya
di kencan ketiga kami yang membuatku tidak tahan karena dia bawel luar
biasa, seperti dua Dira dijadikan satu. Belum lagi tambahan ucapannya
yang selalu memamerkan betapa kayanya dia. Bah, mana tahan aku harus
pacaran dengan lagi-laki seperti itu.
Ada lagi Reyhan, anak jurusan sastra Belanda, badannya tegap dan
atletis, wajahnya-pun bisa di bilang lumayan, yang waktu itu membawaku
kencan ke resto Belanda, setelah memesan menu paling spesial disitu dan
ketika akan membayar, dia malah berkilah memberi alasan ‘Dompet gue
ketinggalan’. Yah kalau masih sekali atau dua kali mungkin aku masih
tidak masalah, tapi sampai kencan ketiga kami dia masih saja memberikan
alasan yang sama.
Belum lagi Mario, anak jurusan Teknik Sipil yang macho dan tegap tapi
aroma badannya juga tidak kalah luar biasanya. Dan cerita-cerita
lainnya hingga akhirnya pilihanku jatuh pada Satrio. Satu tingkat
diatasku, mahasiswa SosPol tingkat akhir. Kali ini sudah masuk hitungan
ketiga untuk kencan kami. Aku punya satu pakem standar kencan, dimana
menurutku batas ketika aku ingin melanjutkan hubungan ini adalah
terletak di kencan ketiga.
Sejauh ini orangnya cukup oke, tahu cara memperlakukan wanita, tidak
bawel, dan yang terpenting dia bebas bau badan. Kami sudah saling rajin
ber-sms-an ria dan mulai menebarkan jurus-jurus ala orang yang sedang
pedekate hampir satu bulan. Dari segi fisik, dia tampan, badannya tegap,
dan tubuhnya proporsional. Yang aku tahu, dia ini juga tergolong
aktivis kampus, pernah menjabat sebagai ketua pecinta alam kampusku.
Sejauh yang aku tahu, dia punya satu orang adik. Dia sudah lama
menjomblo, dan kami punya cukup banyak kesamaan hobi.
“Eh, minggu ini nganggur gak Cit?” Ujarnya di sela-sela makan malam kami
“Kosong sih, kenapa kak?”
“Ah, masih kaku aja lo, gak usah pake panggil kak segala. Kayak baru kenal aja. Kita ke pantai yuk,”
Aku terlonjak kaget sampai nyaris melongo, tahu saja dia betapa aku
sangat mencintai pantai, “Boleh, boleh. Dalam rangka apa nih?”
Satrio tersenyum penuh arti dan menatapku, “Soalnya mau ada Family
Gathering Cit. Boleh dong gue ngebawa orang yang spesial buat gue,”
Nah lho, nah lho. Ini sih semacam kode banget. tiba-tiba mendadak jantungku berdebar tidak karuan, dugaanku setelah ini…
“Lo mau gak jadi cewek gue? Mungkin emang kecepetan, tapi gak tahu ya
Cit, gue nyaman banget sama lo, dan gue sayang sama lo Cit”
JREEEENGGG JREEENGGGG.
Sebenarnya aku senang luar biasa, dan tanpa pikir panjang kuputuskan
untuk mengiyakan ajakannya. Resmilah kami jadi pasangan baru.
“Cieeee, udah punya monyet baru nih lo ceritanya?” Ujar Dira yang langsung menghampiriku di Kampus keesokkan harinya.
“Apaan sih? Masa Satria di bilang monyet,” sahutku
“Ah sensi amat nih pasangan baru. Selamet ya nyet, akhirnya lo move on
juga. Gue kirain lo emang udah beneran enggak bisa suka sama cowok lagi
nyet.”
“Eh sembarangan lo. Gini-gini gue masih belum minat sama sesama jenis ya.”
“Abis ini gue mau buatin buletin edisi “Couples Campus” ah nyet.”
“Ih ngapain banget sih? Gue bukan seleb non, gak pake publisitas begituan ah, ogah gue.”
“Lo inget gak sih? Lo sama dia itu pernah sama-sama mengisi kolom high
quality jomblo dan pasti bakal seru banget kalau sampai ada berita
tentang bersatunya duo high quality jomblo ini nyet,” Ujar Dira
berapi-api. Aku Cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah
sahabatku satu ini.
Pantai Pangandaran siang ini rasanya berbeda dengan yang terakhir
kali aku kunjungi. Dulu yang menemaniku adalah Rheno, tapi sekarang ada
Satria disini. Kata Dira, Orang baru selalu membawa sensasi baru
ternyata memang benar. Kami datang lebih pagi di banding keluarganya,
terlalu pagi malah. Satria bilang ia hanya ingin melihat matahari terbit
bersamaku. Isn’t that really sweet, huh? Many thanks to Dira yang sudah
memperkenalkan aku dengan orang sebaik Satria.
Kira-kira pukul sembilan pagi, sebuah mobil Avanza berwarna silver
yang cukup aku kenali platnya, berhenti di dekat tempat kami akan
mengadakan Family Gathering. Jantungku berdebar kencang, pintu mobil
terbuka dan yang keluar adalah…
“Dek, kok lo lama banget sih?”
“Iya, macet tadi kak, lo aja yang kecepetan, mana sih pacar baru lo?”
Suara yang sudah sangat ku hapal, dan dia adalah RHENO!! Rheno si
brengsek yang sudah membuat aku gagal move on berulang kali akibat ulah
brengseknya dia. Tadi dia memanggil Satria apa? Kakak?
“Rhe-no?” Ucapku terbata-bata sambil memberanikan diri menatap wajahnya dengan ekspresi tidak percaya.
“Lho, Kalian Saling kenal?” Ujar Satria kebingungan sambil menatap kami.
“Jadi pacar baru lo Citra bang?”
“Iya dek, eh tapi kayaknya kalian udah saling kenal deh jadi gak usah pake perkenalan lagi ya?” Jawab Satria sambil
tertawa kemudian.
“Kalian adik kakak?” Tanyaku pasrah.
“Iya Hon, aku pernah bilang kan, aku punya adik cowok setingkat sama
kamu. Eh enggak tahunya kalian udah saling kenal, kenal dari mana?”
“Tapi kamu enggak pernah bilang kalau adik kamu itu Rheno Aditya dan
Rheno juga gak pernah bilang dia punya kakak cowok namanya Satria,”
Ujarku panik bercampur lemas.
“Iya dia kan kalau di rumah panggilannya Adit, aku lupa nyebut nama
panjangnya. Eh kalian kenal dimana?” Ucap Satria mengulangi
pertanyaannya yang belum ku jawab.
“Abang gue kan namanya Satria Ramadiputra, dia dipanggilnya Rama kalau di rumah Cit,” Sahut Rheno tiba-tiba
“Kok bisa kenal sih kalian?” Ulang Satria sambil mengernyitkan dahinya.
Seketika itu aku lemas dan menghembuskan napas panjang. Satu-satunya yang harus disalahkan adalah Dira! Aku ralat ucapanku tadi.
Sial kalau begini jadinya bagaimana aku bisa Move on kalau harus terus bertemu dengan Rheno?
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking